Menyingkap Kisah Keturunan Raja Ubiet Tangse di Hutan Rimba Aceh
Teuku Raja Keumala |
Raja Ubiet adalah Raja Keumala-Tangse,
Aceh Pidie yang membawa pengikut dan keturunannya ke Gunung Itam di gugusan
Bukit Barisan di Nagan Raya untuk menghindari kejaran penjajah Belanda. Mereka
hidup secara tradisional mengandalkan kemurahan alam untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Mereka hidup dalam peradaban yang nyaris tanpa sentuhan
modernisasi.
Saat ini, ada 50 kepala keluarga yang
menempati 50 rumah di hulu Sungai Krueng Tripa di pegunungan itu. Mereka
dipimpin Teuku Raja Keumala (50), keturunan langsung Raja Ubiet. Teuku Raja
Keumala adalah raja tanpa mahkota dan kursi kerajaan di wilayah yang berbatasan
dengan Aceh Tengah dan Pidi Jaya itu. Saking sederhananya, Teuku Raja Keumala
kerap tampil berbusana hitam-hitam tanpa alas kaki dengan kepala dililit kain
hitam
Warga yang dipimpin Teuku Raja Keumala tak
kalah tradisionalnya dan hidup alamiah di hutan rimba. Malahan hingga kini, ada
warganya yang tidak makan garam, karena tidak turun gunung. Selain 50 rumah
yang berada di pucuk Gunung Itam itu, komunitas turunan Raja Ubiet, yang sudah
menikmati perubahan alias modernisasi, membuka pemukiman baru di Gunung Kong.
“Mereka turunan kesekian dari Raja Ubiet,
ayah saya. Mereka turun gunung pada tahun 80-an, semasa gubernur Ibrahim
Hasan,” ujar Teuku Raja Keumala dalam bahasa Aceh kental yang diterjemahi oleh
Saifuddin Junaidi, 59 tahun.
Jarak tempuh dari Gunung Kong ke Pucuk
Gunung Itam, memakan waktu dua hari dua malam berjalan kaki. Jalannya hanya
setapak dan melintasi bebatuan juga hutan rimba.
Ironisnya, kehidupan warga pedalaman yang
dulunya melarikan diri dari kejaran Belanda dari Keumala-Tangse, Pidie, ke
pedalaman pucuk Gunung Itam, ini baru mengetahui kalau Indonesia merdeka,
semasa Gubernur Ibrahim Hasan atau tepatnya tahun 1985. Kala itu, Ibrahim
Hasan, meminta mereka untuk turun gunung.
Seusai bertemu gubernur, rumah bantuan pun
diberikan, makanya sebagian komunitas keturunan Raja Ubiet, berada di Gunung
Kong. Sebagian turunan kedua Raja Ubiet lainnya masih bertahan di pedalaman dan
hidup apa adanya yang bersumber dari hutan. “Kami menanam pisang, ketela,
singkong, durian, dan juga padi, untuk makan sehari-hari,” tukas Teuku Raja
Keumala, anak kelima dari Raja Ubiet.
Diakuinya, pendatang yang berkunjung ke
pemukiman di Pucuk Gunung Itam, tetap harus beradaptasi dengan warga setempat.
Misalnya, lanjutnya, pakaian tamu harus berwarna hitam-hitam dan tidak boleh
pakaian yang menyerupai penjajah Belanda yang dinilainya ‘kafir’.
Tidak boleh memakai topi juga tanpa alas
kaki. Pengharusan ini, ujarnya, dikarenakan menghormati kebiasaan mereka sejak
zaman penjajahan Belanda, tempo dulu. Kebaisaan tersebut, terbawa hingga kini,
kecuali komunitas turunan yanga berada di Gunung Kong.
Dia bilang, kaum perempuan pun juga
mengenakan busana serba hitam dan memakai celana panjang seperti yang dikenakan
Cut Nyak Din, pahlawan nasional Aceh. hanya saja, celananya serba longgar
begitu juga bajunya. Diakuinya lagi, pakaian mereka dijahit menggunakan tangan
dan benangnya yang diolah dari benang nenas. Sementara, kainnya di pesan dari
pasar melalui kurir sejak zaman penjajahan dulu.
Ia pun mengisahkan, Raja Ubiet dulunya
tidak mau menyerah atau takluk kepada Belanda, makanya mereka sekeluarga lari
ke gunung. Tak sampai di situ, diperjalanan mereka tetap dikejar dan berakhir
di Pucuk Gunung Itam, sisanya ke gunung lainnya. Saat di kejar itu, mereka
membuang semua alasa kaki, sehingga tidak mudah diendus jejaknya.
Begitu juga, terangnya, pakaian warna
warni ikut mereka tanggalkan, karena dianggap memudahkan pihak Belanda
menemukan mereka. Alhasil, hingga kini mengenakan pakaian serba hitam dan tanpa
alas kaki, meski ke kota sekalipun. Kecuali, komunitas yang berada di Gunung
Kong, sudah pakai alas kaki dan juga pakaiannya berwarna-warni.
Kebencian terhadap penjajah itulah,
makanya siapapun yang berkunjung ke Pucuk Gunung Itam, tampilannya tidak boleh
menyerupai ‘kafir’. Lagipula, hingga kini mereka belum mau menerima kemajuan
tekhnologi, sehingga tidak ada televisi, apalagi handphone, di sana.
Selain itu, tingkat kewaspadaan mereka
masih tetap tinggi dan berbekas hingga saat ini. Pandangan matanya lebih sering
ditujukan ke bawah, namun ekor matanya kerap mengawasi, seolah dalam
kesiap-siagaan penuh alias penuh kecurigaan terhadap orang asing. Meski
Indonesia telah merdeka 60-an tahun lebih, namun, keturunan Raja Ubiet, masih
ada rasa ketakutan kalau-kalau Belanda kembali mengejar mereka.
Teuku Raja
Keumala Bersama Mantan Wagub Aceh, ,Muhammad Nazar
Tak pelak lagi, ada diantara warga di
Pucuk Gunung Itam, ini yang berbulan-bulan tidak menikmati rasanya garam atau
pun manisnya gula. Mereka biasa hidup dalam penderitaan di tengah hutan
belantara, karena ketakutan tadi.
Hanya Bisa Mengaji, Berobatpun dari Tanaman Hutan
Warga pedalaman keturunan Raja Ubiet pun
terbiasa menikmati dan memanfaatkan hasil hutan, tetapi tidak merusak hutan,
begitu kata mereka.Kesibukan pagi pun di mulai. Pihak laki-laki bekerja ke
ladang, sementara sang perempuan disibukkan dengan pekerjaan rumah tangga,
meski sesekali ikut membantu sang suami.
Sementara itu, sebagian anak kecil lainnya
mulai bermain permainan yang biasa mereka lakukan. Tak ada yang beda, selain
waktu anak-anak usia sekolah ini, hanya bermain atau mengikuti orang tuanya ke
ladang.
Siang pun tiba, matahari tepat di atas
kepala dan embun pun sudah menghilang. Suhu yang biasanya dingin, kini mulai
menghangat. Seusai makan siang, mereka kembali bekerja dan menjelang sore,
mereka kembali ke rumah masing-masing.
Malam tiba, giliran anak-anak belajar
mengaji dengan lampu penerangan seadanya dan itulah satu-satunya pendidikan
yang mereka terima dikarenakan semenjak zaman penjajahan Belanda, tidak ada
sekolahan apalagi guru yang mengajarkan mereka baca tulis.
“Sebenarnya ada anak-anak yang bisa baca
tulis, namun hanya sedikit. Mereka bisa baca tulis itu, ketika turun gunung dan
menyaksikan sepupu mereka yang berada di Gunung Kong atau Blang Tripa, sudah
bisa membaca dan menulis, sehingga yang turun gunung ini pun meminta diajarkan
baca tulis.
Diakui Teuku Raja Keumala, masyarakat yang
berada di Gunung Ijo atau Krueng Itam, tidak pernah merasakan bangku sekolah.
Mereka bisanya mengaji, karena hanya ada guru mengaji di pedalaman tersebut.
Kecuali, ujarnya, keturunan Raja Ubiet yang telah bermukim di Gunung Kong
(kuat) atau yang telah berdomisili di Alu Bilie, pemukiman di tepi Jalan Nagan
Raya-Meulaboh, mereka telah menerima modernisasi.
“Masih ingat apa yang dikatakan nek tu
alias indatu (tetua Teuku Raja Keumala) bahwa mereka dilarang atau terlarang
turun hingga menyeberang sungai Tripa atau yang saat ini, di sebut Gunung Kong.
Bisanya kami, turun gunung sebatas Blang Tripa, tempat sebagian warga lainnya
membuka pemukiman baru, dimana Pemerintah Aceh membangunkan rumah bantuan untuk
keturunan Raja Ubiet disana,” tukasnya lagi.
Beberapa diantara keturunan Raja Ubiet
atau yang mengikuti orang tua Raja Ubiet, Raja Tampuk lari dari kejaran
Belanda, memang ada yang bermukim di Gunung Kong. Nah, terangnya, ketika mereka
telah menyeberang sungai itu, maka dianggaplah bahwa mereka telah melanggar
petuah orang tua, namun tidak serta merta dikucilkan.
Selain pendidikan yang tidak ada sama
sekali, kecuali mengaji. Apabila berobat pun, masyarakat hanya ke dukun
setempat yang meramu obat-obatannya dari tanaman di sekitar hutan. Menurut
Teuku Raja Keumala, sama dengan sekolahan, maka tidak ada perawat atau mantri
yang dipercaya masyarakat untuk mengobati sakit mereka.
Biasanya, sakit yang diderita pun hanya
seputar gatal-gatal atau penyakit kulit, sakit perut, kepala, luka-luka di
gigit serangga atau luka gores. Tidak ada sakit yang aneh-aneh, seperti
penyakit orang kotaan, tambah Teuku Saudi, sepupunya Teuku Raja Keumala yang
sudah lama bermukim di Kota Banda Aceh.
Dituturkan Teuku Saudi, sebagian besar
keturunan Raja Ubiet, mulai terkontaminasi kemajuan atau modernisasi, tetapi
tidak sedikit pula yang masih bertahan dengan kehidupan alamiah di tengah hutan
rimba. Keteguhan masyarakat yang masih bertahan di Gunung Ijo atau hulu Krueng
Itam, dikarenakan masih mempertahankan petuah orang tua, agar tidak melewati
daerah terlarang.
Gajah Pemalu
Diceritakan Teuku Raja Keumala, ketika menyusuri jalan setapak menuju Pucuk Gunung Ijo atau Krueng Itam, mereka harus berjalan seharian penuh di tepi sungai Krueng Tripa yang sebagian besarnya agak mendatar. Setelah menyeberangi Sungai Tripa yang dalamnya hanya setinggi dada seorang pria, maka warga setempat, masih harus menyusuri tepian Sungai Krueng Itam.
Keesokan harinya, jalannya akan mendaki
gunung, menuruni lembah, mendaki lagi dan menuruni gunung lagi, seharian penuh,
hingga menuju pucuk Gunung Ijo yang letaknya berbatasan dengan Aceh tengah dan
Pidie Jaya. “Tak ada akses jalan ke tempat lainnya,” tukas Teuku Raja Keumala.
Ketika menyusuri jalan dua hari dua malam
menuju pemukiman warga pedalaman keturunan Raja Ubiet, mereka kerap menemukan
bekas jejak tapak harimau yang disebut warga setempat dengan julukan ‘raja’.
Begitu juga dengan feses atau tapak gajah. Malahan, ujarnya lagi, beberapa di
antara warga disitu, pernah berpapasan dengan gajah, tetapi gajahnya tertunduk
malu, ketika mereka melintas.
Raja Keumala menilai kalau gajah itu
merupakan gajah aulia penunggu gunung setempat. Dan lagi, ucapnya, binatang
buas yang kerap mereka temui feses dan tapaknya, tidak pernah menggangu begitu
juga sebaliknya, mereka tidak mengganggu binatang tersebut.
Teuku Raja Keumala bilang, perkara menikah, mereka masih menganut sistem
lama, dimana kalau tertarik terhadap seorang perempuan, maka si pria bersama
orang tua, langsung meminang dan begitu si orang tua perempuan setuju, maka
hari itu juga pernikahan dilangsungkan, tanpa saling kenal terlebih dahulu.
Tradisi ini, masih melekat hingga kini di masyarakat yang menghuni
pedalaman dan Blang Tripa, tetapi tidak yang di Gunung Kong. Apalagi, tuan kadi
yang di Gunung Kong, kata Teuku Raja Keumala, kesohor ‘tukang’ menikahkan orang
yang di daerah asal si pasangan, tidak disetujui, sehingga pasangan itu pun,
nikah siri.
Raja tidak mengetahui kalau pemerintah
pusat bakal mengeluarkan peraturan pelarangan nikah siri. Menurutnya, mereka di
pedalaman lambat mendapatkan informasi dikarenakan tidak adanya fasilitas
penyampai pesan seperti masyarakat di kota.
Diundang Wakil Gubernur
Diungkapkan Wagub, Teuku Raja Keumala,
baru tiga kali turun ke Ibukota Provinsi. Pertama kali, ketika diundang
Gubernur Ibrahim Hasan tahun 1980-an, lalu, semasa konflik, dan ketiga ketika
mengunjungi Wagub, ucapnya.
“Saya mengundang Teuku Raja Keumala, kemari,
meminta kepadanya agar ikut mengawasi pembangunan bantuan rumah juga yang
lainnya, supaya proyeknya berjalan lancar dan tidak ditinggalkan seperti yang
lalu-lalu,” tukasnya.
Setelah berbicara panjang lebar dengan
Wagub di ruang kerjanya. Wagub pun berkata kepada Teuku Raja Keumala, mau
membelikan sepatu atau sandal, untuknya. Sambil tersenyum simpul, Teuku Raja
Keumala, mengiyakan tetapi setelah sampai di Pucuk Gunung Itam, akan dilepas
kembali.
Ketika disinggung senjata yang masih
mereka miliki? Teuku Raja Keumala mengungkapkan, mereka masih menyimpan pedang
panjang, peninggalan semasa perang dulu. Jumlahnya pun termasuk banyak, begitu
juga rencong.
Sedangkan pistol Aceh, telah diserahkan
kepada Polsek setempat, ketika damai MoU Helsinki, lalu. Padahal, kata Wagub,
pistol itu merupakan senjata orang Aceh dari abad ke 15 dan sangat disayangkan
senjata zaman dulu itu, tidak diserahkan kembali ke museum.
Ketika Raja Keumala melihat foto dirinya
di koran ini. Ia dengan seksama memperhatikan, lama matanya tidak berpindah
dari koran tersebut. Entahlah apa yang ada dipikirnnya, tetapi sebuah senyum
pun tersungging di bibirnya, tatkala sepupunya mengatakan, dia telah masuk
koran. Beberapa kali dicobanya memegang koran itu. Senyum pun kembali
tersungging.[]
(Sumber: persepsipost.com)