Saturday 1 August 2015

Menyingkap Kisah Keturunan Raja Ubiet Tangse di Hutan Rimba Aceh

Menyingkap Kisah Keturunan Raja Ubiet Tangse di Hutan Rimba Aceh
Teuku Raja Keumala
Raja Ubiet adalah Raja Keumala-Tangse, Aceh Pidie yang membawa pengikut dan keturunannya ke Gunung Itam di gugusan Bukit Barisan di Nagan Raya untuk menghindari kejaran penjajah Belanda. Mereka hidup secara tradisional mengandalkan kemurahan alam untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka hidup dalam peradaban yang nyaris tanpa sentuhan modernisasi.
Saat ini, ada 50 kepala keluarga yang menempati 50 rumah di hulu Sungai Krueng Tripa di pegunungan itu. Mereka dipimpin Teuku Raja Keumala (50), keturunan langsung Raja Ubiet. Teuku Raja Keumala adalah raja tanpa mahkota dan kursi kerajaan di wilayah yang berbatasan dengan Aceh Tengah dan Pidi Jaya itu. Saking sederhananya, Teuku Raja Keumala kerap tampil berbusana hitam-hitam tanpa alas kaki dengan kepala dililit kain hitam
Warga yang dipimpin Teuku Raja Keumala tak kalah tradisionalnya dan hidup alamiah di hutan rimba. Malahan hingga kini, ada warganya yang tidak makan garam, karena tidak turun gunung. Selain 50 rumah yang berada di pucuk Gunung Itam itu, komunitas turunan Raja Ubiet, yang sudah menikmati perubahan alias modernisasi, membuka pemukiman baru di Gunung Kong.
“Mereka turunan kesekian dari Raja Ubiet, ayah saya. Mereka turun gunung pada tahun 80-an, semasa gubernur Ibrahim Hasan,” ujar Teuku Raja Keumala dalam bahasa Aceh kental yang diterjemahi oleh Saifuddin Junaidi, 59 tahun.
Jarak tempuh dari Gunung Kong ke Pucuk Gunung Itam, memakan waktu dua hari dua malam berjalan kaki. Jalannya hanya setapak dan melintasi bebatuan juga hutan rimba.
Ironisnya, kehidupan warga pedalaman yang dulunya melarikan diri dari kejaran Belanda dari Keumala-Tangse, Pidie, ke pedalaman pucuk Gunung Itam, ini baru mengetahui kalau Indonesia merdeka, semasa Gubernur Ibrahim Hasan atau tepatnya tahun 1985. Kala itu, Ibrahim Hasan, meminta mereka untuk turun gunung.
Seusai bertemu gubernur, rumah bantuan pun diberikan, makanya sebagian komunitas keturunan Raja Ubiet, berada di Gunung Kong. Sebagian turunan kedua Raja Ubiet lainnya masih bertahan di pedalaman dan hidup apa adanya yang bersumber dari hutan. “Kami menanam pisang, ketela, singkong, durian, dan juga padi, untuk makan sehari-hari,” tukas Teuku Raja Keumala, anak kelima dari Raja Ubiet.
Diakuinya, pendatang yang berkunjung ke pemukiman di Pucuk Gunung Itam, tetap harus beradaptasi dengan warga setempat. Misalnya, lanjutnya, pakaian tamu harus berwarna hitam-hitam dan tidak boleh pakaian yang menyerupai penjajah Belanda yang dinilainya ‘kafir’.
Tidak boleh memakai topi juga tanpa alas kaki. Pengharusan ini, ujarnya, dikarenakan menghormati kebiasaan mereka sejak zaman penjajahan Belanda, tempo dulu. Kebaisaan tersebut, terbawa hingga kini, kecuali komunitas turunan yanga berada di Gunung Kong.
Dia bilang, kaum perempuan pun juga mengenakan busana serba hitam dan memakai celana panjang seperti yang dikenakan Cut Nyak Din, pahlawan nasional Aceh. hanya saja, celananya serba longgar begitu juga bajunya. Diakuinya lagi, pakaian mereka dijahit menggunakan tangan dan benangnya yang diolah dari benang nenas. Sementara, kainnya di pesan dari pasar melalui kurir sejak zaman penjajahan dulu.
Ia pun mengisahkan, Raja Ubiet dulunya tidak mau menyerah atau takluk kepada Belanda, makanya mereka sekeluarga lari ke gunung. Tak sampai di situ, diperjalanan mereka tetap dikejar dan berakhir di Pucuk Gunung Itam, sisanya ke gunung lainnya. Saat di kejar itu, mereka membuang semua alasa kaki, sehingga tidak mudah diendus jejaknya.
Begitu juga, terangnya, pakaian warna warni ikut mereka tanggalkan, karena dianggap memudahkan pihak Belanda menemukan mereka. Alhasil, hingga kini mengenakan pakaian serba hitam dan tanpa alas kaki, meski ke kota sekalipun. Kecuali, komunitas yang berada di Gunung Kong, sudah pakai alas kaki dan juga pakaiannya berwarna-warni.
Kebencian terhadap penjajah itulah, makanya siapapun yang berkunjung ke Pucuk Gunung Itam, tampilannya tidak boleh menyerupai ‘kafir’. Lagipula, hingga kini mereka belum mau menerima kemajuan tekhnologi, sehingga tidak ada televisi, apalagi handphone, di sana.
Selain itu, tingkat kewaspadaan mereka masih tetap tinggi dan berbekas hingga saat ini. Pandangan matanya lebih sering ditujukan ke bawah, namun ekor matanya kerap mengawasi, seolah dalam kesiap-siagaan penuh alias penuh kecurigaan terhadap orang asing. Meski Indonesia telah merdeka 60-an tahun lebih, namun, keturunan Raja Ubiet, masih ada rasa ketakutan kalau-kalau Belanda kembali mengejar mereka.
Teuku Raja Keumala Bersama Mantan Wagub Aceh, ,Muhammad Nazar
Tak pelak lagi, ada diantara warga di Pucuk Gunung Itam, ini yang berbulan-bulan tidak menikmati rasanya garam atau pun manisnya gula. Mereka biasa hidup dalam penderitaan di tengah hutan belantara, karena ketakutan tadi.
Hanya Bisa Mengaji, Berobatpun dari Tanaman Hutan
Warga pedalaman keturunan Raja Ubiet pun terbiasa menikmati dan memanfaatkan hasil hutan, tetapi tidak merusak hutan, begitu kata mereka.Kesibukan pagi pun di mulai. Pihak laki-laki bekerja ke ladang, sementara sang perempuan disibukkan dengan pekerjaan rumah tangga, meski sesekali ikut membantu sang suami.
Sementara itu, sebagian anak kecil lainnya mulai bermain permainan yang biasa mereka lakukan. Tak ada yang beda, selain waktu anak-anak usia sekolah ini, hanya bermain atau mengikuti orang tuanya ke ladang.
Siang pun tiba, matahari tepat di atas kepala dan embun pun sudah menghilang. Suhu yang biasanya dingin, kini mulai menghangat. Seusai makan siang, mereka kembali bekerja dan menjelang sore, mereka kembali ke rumah masing-masing.
Malam tiba, giliran anak-anak belajar mengaji dengan lampu penerangan seadanya dan itulah satu-satunya pendidikan yang mereka terima dikarenakan semenjak zaman penjajahan Belanda, tidak ada sekolahan apalagi guru yang mengajarkan mereka baca tulis.
“Sebenarnya ada anak-anak yang bisa baca tulis, namun hanya sedikit. Mereka bisa baca tulis itu, ketika turun gunung dan menyaksikan sepupu mereka yang berada di Gunung Kong atau Blang Tripa, sudah bisa membaca dan menulis, sehingga yang turun gunung ini pun meminta diajarkan baca tulis.
Diakui Teuku Raja Keumala, masyarakat yang berada di Gunung Ijo atau Krueng Itam, tidak pernah merasakan bangku sekolah. Mereka bisanya mengaji, karena hanya ada guru mengaji di pedalaman tersebut. Kecuali, ujarnya, keturunan Raja Ubiet yang telah bermukim di Gunung Kong (kuat) atau yang telah berdomisili di Alu Bilie, pemukiman di tepi Jalan Nagan Raya-Meulaboh, mereka telah menerima modernisasi.
“Masih ingat apa yang dikatakan nek tu alias indatu (tetua Teuku Raja Keumala) bahwa mereka dilarang atau terlarang turun hingga menyeberang sungai Tripa atau yang saat ini, di sebut Gunung Kong. Bisanya kami, turun gunung sebatas Blang Tripa, tempat sebagian warga lainnya membuka pemukiman baru, dimana Pemerintah Aceh membangunkan rumah bantuan untuk keturunan Raja Ubiet disana,” tukasnya lagi.
Beberapa diantara keturunan Raja Ubiet atau yang mengikuti orang tua Raja Ubiet, Raja Tampuk lari dari kejaran Belanda, memang ada yang bermukim di Gunung Kong. Nah, terangnya, ketika mereka telah menyeberang sungai itu, maka dianggaplah bahwa mereka telah melanggar petuah orang tua, namun tidak serta merta dikucilkan.
Selain pendidikan yang tidak ada sama sekali, kecuali mengaji. Apabila berobat pun, masyarakat hanya ke dukun setempat yang meramu obat-obatannya dari tanaman di sekitar hutan. Menurut Teuku Raja Keumala, sama dengan sekolahan, maka tidak ada perawat atau mantri yang dipercaya masyarakat untuk mengobati sakit mereka.
Biasanya, sakit yang diderita pun hanya seputar gatal-gatal atau penyakit kulit, sakit perut, kepala, luka-luka di gigit serangga atau luka gores. Tidak ada sakit yang aneh-aneh, seperti penyakit orang kotaan, tambah Teuku Saudi, sepupunya Teuku Raja Keumala yang sudah lama bermukim di Kota Banda Aceh.
Dituturkan Teuku Saudi, sebagian besar keturunan Raja Ubiet, mulai terkontaminasi kemajuan atau modernisasi, tetapi tidak sedikit pula yang masih bertahan dengan kehidupan alamiah di tengah hutan rimba. Keteguhan masyarakat yang masih bertahan di Gunung Ijo atau hulu Krueng Itam, dikarenakan masih mempertahankan petuah orang tua, agar tidak melewati daerah terlarang.

Gajah Pemalu

Diceritakan Teuku Raja Keumala, ketika menyusuri jalan setapak menuju Pucuk Gunung Ijo atau Krueng Itam, mereka harus berjalan seharian penuh di tepi sungai Krueng Tripa yang sebagian besarnya agak mendatar. Setelah menyeberangi Sungai Tripa yang dalamnya hanya setinggi dada seorang pria, maka warga setempat, masih harus menyusuri tepian Sungai Krueng Itam.
Keesokan harinya, jalannya akan mendaki gunung, menuruni lembah, mendaki lagi dan menuruni gunung lagi, seharian penuh, hingga menuju pucuk Gunung Ijo yang letaknya berbatasan dengan Aceh tengah dan Pidie Jaya. “Tak ada akses jalan ke tempat lainnya,” tukas Teuku Raja Keumala.
Ketika menyusuri jalan dua hari dua malam menuju pemukiman warga pedalaman keturunan Raja Ubiet, mereka kerap menemukan bekas jejak tapak harimau yang disebut warga setempat dengan julukan ‘raja’. Begitu juga dengan feses atau tapak gajah. Malahan, ujarnya lagi, beberapa di antara warga disitu, pernah berpapasan dengan gajah, tetapi gajahnya tertunduk malu, ketika mereka melintas.
Raja Keumala menilai kalau gajah itu merupakan gajah aulia penunggu gunung setempat. Dan lagi, ucapnya, binatang buas yang kerap mereka temui feses dan tapaknya, tidak pernah menggangu begitu juga sebaliknya, mereka tidak mengganggu binatang tersebut.
Teuku Raja Keumala bilang, perkara menikah, mereka masih menganut sistem lama, dimana kalau tertarik terhadap seorang perempuan, maka si pria bersama orang tua, langsung meminang dan begitu si orang tua perempuan setuju, maka hari itu juga pernikahan dilangsungkan, tanpa saling kenal terlebih dahulu.
Tradisi ini, masih melekat hingga kini di masyarakat yang menghuni pedalaman dan Blang Tripa, tetapi tidak yang di Gunung Kong. Apalagi, tuan kadi yang di Gunung Kong, kata Teuku Raja Keumala, kesohor ‘tukang’ menikahkan orang yang di daerah asal si pasangan, tidak disetujui, sehingga pasangan itu pun, nikah siri.
Raja tidak mengetahui kalau pemerintah pusat bakal mengeluarkan peraturan pelarangan nikah siri. Menurutnya, mereka di pedalaman lambat mendapatkan informasi dikarenakan tidak adanya fasilitas penyampai pesan seperti masyarakat di kota.
Diundang Wakil Gubernur
Diungkapkan Wagub, Teuku Raja Keumala, baru tiga kali turun ke Ibukota Provinsi. Pertama kali, ketika diundang Gubernur Ibrahim Hasan tahun 1980-an, lalu, semasa konflik, dan ketiga ketika mengunjungi Wagub, ucapnya.
“Saya mengundang Teuku Raja Keumala, kemari, meminta kepadanya agar ikut mengawasi pembangunan bantuan rumah juga yang lainnya, supaya proyeknya berjalan lancar dan tidak ditinggalkan seperti yang lalu-lalu,” tukasnya.
Setelah berbicara panjang lebar dengan Wagub di ruang kerjanya. Wagub pun berkata kepada Teuku Raja Keumala, mau membelikan sepatu atau sandal, untuknya. Sambil tersenyum simpul, Teuku Raja Keumala, mengiyakan tetapi setelah sampai di Pucuk Gunung Itam, akan dilepas kembali.
Ketika disinggung senjata yang masih mereka miliki? Teuku Raja Keumala mengungkapkan, mereka masih menyimpan pedang panjang, peninggalan semasa perang dulu. Jumlahnya pun termasuk banyak, begitu juga rencong.
Sedangkan pistol Aceh, telah diserahkan kepada Polsek setempat, ketika damai MoU Helsinki, lalu. Padahal, kata Wagub, pistol itu merupakan senjata orang Aceh dari abad ke 15 dan sangat disayangkan senjata zaman dulu itu, tidak diserahkan kembali ke museum.
Ketika Raja Keumala melihat foto dirinya di koran ini. Ia dengan seksama memperhatikan, lama matanya tidak berpindah dari koran tersebut. Entahlah apa yang ada dipikirnnya, tetapi sebuah senyum pun tersungging di bibirnya, tatkala sepupunya mengatakan, dia telah masuk koran. Beberapa kali dicobanya memegang koran itu. Senyum pun kembali tersungging.[] 
(Sumber: persepsipost.com)

Thursday 16 July 2015

Woe U Gampong


Bulan ramadhan sudah berada di penghujungnya. Tidak lama lagi bulan yang penuh ampunan itu meninggalkan kita dan akan berjumpa lagi pada tahun yang akan datang. Di penghujung bulan ramadhan, sudah menjadi tradisi masyarakat yang ada di negeri orang atau di perantauan akan pulang ke kampung halamannya masing-masing untuk merayakan hari Raya Idul Fitri bersama keluarga besar. 

Begitu pula dengan masyarakat Aceh sendiri, baik itu yang mengadu nasib di negri orang atau yang sedang menuntut ilmu di perantauan, pada hari Raya akan pulang ke Gampongnya atau dalam bahasa Aceh biasa disebut dengan “Woe U Gampong” atau ada pula istilah lain dengan sebutan “Saweu Gampong”. Biasanya 5 sampai 3 hari mau lebaran masyarakat yang jauh dari kampung halamannya akan pulang menyambut lebaran bersama keluarga.


Woe U Gampong
Ilustrasi
Budaya pulang kampung dalam rangka merayakan hari raya selepas puasa sudah menjadi tradisi masyarakat Aceh yang juga masyarakat di seluruh penjuru nusantara ini. Orang Aceh yang berada di luar daerah yang mungkin sudah menetap di luar daerah tersebut biasanya akan “saweu gampong” pula pada saat akan datangnya hari Raya idul Fitri dan juga pada hari Raya Idul Adha.


Akhir kata, penulis mengucapkan selamat “Woe Gampong” kepada masyarakat Aceh yang sedang dalam perjalanan atau sedang bersiap-siap untuk pulang ke Gampongnya masing-masing dan selamat hari Raya Idul Fitri 1436 H. Mohon maaf lahir dan bathin.[] 

Sunday 12 July 2015

Ini 5 Macam Kue Hari Raya Khas Masyarakat Aceh

Tidak lama lagi hari raya idul fitri akan tiba. Hari raya(idul fitri dan idul adha) menjadi momentum yang bahagia bagi seluruh kaum muslim di dunia. Pada saat hari raya, makanan menjadi sesuatu yang tidak terpisah dari hari-hari tersebut. selama ini kita sering mendengar pada saat hari raya akan ada opor ayam, lontong dan lain-lain.

Di Aceh, pada saat hari raya ada berbagai macam kue tradisional yang dihidangkan, baik itu untuk menghitung tamu yang yang datang atau sebagai oleh-oleh ketika akan silaturrahmi ke sanak familinya. Berikut ini kue-kue tradisional yang disuguhkan pada hari raya dalam masyarakat Aceh.

Timphan 

Ini 5 Macam Kue Hari Raya Khas Masyarakat Aceh
Kue Timphan
Bisa dikatakan tidak ada Orang Aceh yang tidak mengenal dengan namanya timphan. Timphan ada beberapa jenis, ada yang terbuat dari adonan pisang dan ada juga yang menggunakan labu dicampur tepung ketan yang kemudian diberi bahan isi. Setelah itu dibungkus menggunakan daun pisang seperti lontong kemudian dimasak dengan cara dikukus.

Timphan tidak hanya ada pada saat hari-hari lebaran namun juga pada acara perkawinan dan acara lainnya. Kue Timphan dikenal dengan aroma manisnya dan kelezatan yang menggugah selera. Mau coba? Ayo Ke Aceh....

Keukarah

Ini 5 Macam Kue Hari Raya Khas Masyarakat Aceh
Kue Keukarah
Kue ini sangat populer di Aceh dan mirip dengan sarang (serabut) Burung. Kue ini menjadi oleh-oleh bagi wisatawan yang mengunjungi Aceh. Keukarah tidak hanya dikenal pada saat hari-hari lebaran, namun ada juga pada acara-acara lain masyarakat Aceh seperti Kenduri perkawinan dan acara adat lainnya.

Kue yang gurih dan renyah ini sangat cocok bila disantap dengan segelas kopi atau teh. Bila ke Aceh tidak salah untuk mencoba kue tradisonal masyarakat Aceh yang satu ini.

Bhoi

Ini 5 Macam Kue Hari Raya Khas Masyarakat Aceh
Kue Bhoi
Kue Bhoi memiliki tekstur bagian luar kering tapi cukup lembut di bagian dalamnya. Kue ini bisa tahan lama karena perantaraan gula sebagai pengawet. Selain ketika hari Raya, Kue Bhoi sering pula disajikan dalam berbagai acara hajatan seperti kelahiran, pernikahan, atau sunatan.

Tidak hanya itu. Masyarakat Aceh menggunakan kue ini sebagai oleh-oleh saat mengunjungi sanak saudaranya atau bertamu ke rumah orang lain. 

Kue Seupet

Ini 5 Macam Kue Hari Raya Khas Masyarakat Aceh
Kue Seupet
Kue Seupet memiliki beberapa bentuk. Salah satunya adalah yang mirip seperti pipa biasanya disebut kue semprong. Selain itu, ada Juga yang dilipat menyerupai kipas sehingga ada Pula yang menyebut kue ini kue kipas.


Seupet seringkali dihidangkan di acara-acara tertentu seperti hari Lebaran, kenduri atau pun sebagai cemilan di hari biasa. Rasanya yang manis, gurih dan renyah menjadi ciri khas sendiri dari kue seupet ini.

Nyap (Kembang goyang)

Ini 5 Macam Kue Hari Raya Khas Masyarakat Aceh
Kue Nyap (Kembang goyang) 
Kebanyakan orang Aceh menyebut kue ini dengan nama kembang goyang. Ada pula yang menyebutnya sebagai kembang goyang dikarenakan memang ketika dicelupkan ke dalam minyak harus digoyang-goyangkan terlebih dahulu supaya kue terlepas dari cetakannya.

Kue Nyap dibuat dari tepung roti yang di campur dengan gula dan telur serta pati santan dan di goreng. Selain di waktu lebaran, kue ini sering kita jumpai disaat ada acara hajatan dan acara-acara lainnya.

Itulah 5 kue yang sering disuguhkan pada hari raya di masyarakat Aceh. sebenarnya masih banyak kue lainnya, namun dari semua kue, kue yang tertulis di atas adalah yang paling populer pada hari raya.[]

Jangan Lewatkan :
sepotong kisah keumamah dalam melawan penjajah belanda

Sunday 5 July 2015

Sepotong Kisah Dari Eks Kota Petro Dolar, Lhokseumawe (Bagian II)

Lhokseumawe Kini sedang giat-giatnya memajukan perekonomian dalam mensejahterakan masyarakat. Sebelumnya penulis telah menguraikan sedikit mengenai sejarag gemilang kota yang bertajuk Petrodolar. Namun, itu dulu dan pantas julukan tersebut tertulis dalam perjalanan sejarah Kota Lhokseumawe.(Baca:Sepotong Kisah Dari Eks Kota Petro Dolar, Lhokseumawe)

Kini, Lhokseumawe harus berlari kencang berusaha mengejar kembali kejayaan di masa lalunya. Ibarat sebuah lomba lari maka Lhokseumawe menjadi salah satu peserta di antara peserta lainnya yang harus saling mendahului sehingga mendapat kemenangan. Lhokseumawe harus benar-benar punya strategi yang ampuh demi terwujud impian dan cita-citanya.

Sepotong Kisah Dari Eks Kota Petro Dolar, Lhokseumawe (Bagian II)
Lampu berlatar tulisan Lhokseumawe saat memasuki kota Lhokseumawe
Lhokseumawe kini mulai memperhatikan sektor pariwisata yang dulunya tidak terurus dengan baik. Beberapa tempat wisata mulai dikembangkan sehingga diharapkan semakin banyak wisatawan yang menginjakkan kakinya di Kota tersebut. Hal ini selaras dengan Visit Lhokseumawe tahun ini, 2015 dengan harapan Kota Lhokseumawe bisa mengembangkan potensi yang ada yang nantinya meningkatkan taraf perekonomian masyarakan dan juga pemasukan untuk Kas Daerah.

Sektor pariwisata saat ini yang sedang populer di kota Lhokseumawe adalah Taman Ngieng Jioeh dan Gua Jepang yang berada di gampong Blang Panyang. Objek wisata yang satu ini penulis rasa cukup sukses dalam menarik pengunjung yang dibuktikan dengan banyaknya foto pengunjung di taman ini yang berserakan di Media Sosial. Patut diacungi jempol kepada penguasa di kota kedua terbesar di Aceh tersebut.

Selain taman Ngieng Jioeh dan Gua Jepang , sektor pariwisata lainnya yang akan dikembangkan adalah pantai Rancong, Pantai Ujong Blang dan Waduk di Pinggiran Kota Lhokseumawe. pemerintah akan terus mengejar ketinggalan dalam pembangunan dengan memamfaatkan potensi-potensi yang ada.

Sektor-sektor yang lain seperti Kuliner, pusat perdagangan, perindustrian dan lain lagi juga sudah mulai dioptimalkan. Sudah saatnya memang berpacu kencang dalam pembangunan karena sudah lama terlena dengan kejayaan di masa lalu sehingga tidak ada perencanaan jangka panjang.

Akhir kata, penulis hanya ingin berujar, terus berpacu Lhokseumawe dan kembalikan masa jayamu.[]
Banda Aceh, Juli 2015 

Thursday 2 July 2015

Mengenal Jingki, Alat Penumbuk Tradisional Masyarakat Aceh

Bagi sebagian masyarakat Aceh saat ini tidak begitu mengenal dengan alat tradisional yang satu ini. alat yang digunakan untuk menumbuk padi supaya menjadi beras dan juga menumbuk beras untuk menjadi tepung ini menjadi bagian dari kehidupan orang Aceh sebelum adanya teknologi canggih saat ini.

Mengenal Jingki, Alat Penumbuk Tradisional Masyarakat Aceh
Jingki atau Jeungki, alat penumbuk tradisional masyarakat Aceh

Jingki atau ada yang menyebutnya dengan jeungki adalah sebuat alat tradisional yang terbuat dari kayu pilihan yang terdapat di hutan Aceh yang digunakan untuk menumbuk padi, beras, sagu dan lain-lain.

Dulunya, jingki hampir ada di setiap rumah orang Aceh dan pada bulan ramadhan jingki akan ramai digunakan untuk mengolah tepung untuk bahan kue pada waktu hari raya nantinya. Akan tetapi, seiring dengan perkembangan zaman jingki sudah sangat sering tidak digunakan lagi. Hanya orang-orang Aceh yang diperkampungan mungkin masih menggunakan Jingki. Sedangkan kalau di kota hanya terpajang di museum saja.

Cara kerja jingki adalah digerakkan dengan kaki pada titik tumpang yang lebih keujung sehingga akan mengangkat ujungnya yang satu lagi dan memberikan pukulan yang kuat. Pada ujung pengungkit dipasang suatu kerangka terdiri atas 2(dua) bagian tegak lurus yang di hubungkan oleh kayu as (penggerak) harizontal yang membuat jeungki akan naik turun. Sedangkan di titik ujung yang untuk menumbuk lesung digunakan Alu (Alee dalam bahasa Aceh).

Mengenal Jingki, Alat Penumbuk Tradisional Masyarakat Aceh
Masyarakat Aceh yang sedang menggunakan Jingki
Keberadaan Jingki dulunya mengajari makna kebersamaan dan kerjasama dalam tim karena bagaimana pun Jingki tak bisa beroperasi atau berjalan bila hanya satu orang. Selain itu, makna sosial sangat erat pula dengan adanya jingki tersebut. Begitulah sekelumit mengenai Jingki atau Jeungki sebagai alat penumbuk tradisional orang Aceh. semoga bermamfaat..[] 

Tuesday 30 June 2015

Kopi dan Eksistensi Warung kopi di Aceh

Kopi dan Eksistensi Warung kopi di Aceh
ilustrasi

Inilah negeri kami, negeri dengan segala kemudahan alam yang diberikan untuk kami kelola dan menikmati hasilnya. Negeri para pecinta kopi dan tentunya manusia yang suka duduk di warung kopi. Ketika di warung kopi maka tidak ada perbedaan kawan dan musuh. Di atas meja warung kopi antara orang saling berperang bisa saling gencatan senjata. Alias kata, pertikaan berakhir bila sudah di warung kopi walaupun nantinya akan berlanjut. 

Kopi menjadi alat sosial mempererat manusia antar sesamanya. Di Aceh sendiri kedai kopi menjadi barang yang tidak langka untuk ditemukan. Di negeri ujung pulau andalas ini, kedai kopi bahkan menjadi julukan di salah satu kota di Negeri ini. Kota dengan seribu kedai kopi yang menghiasi setiap sudut penjuru kota paling di ujung negeri ini. yang paling dikenal ya pasti Solong dan memang sudah dikenal dari dulu sebelum kedai kopi di Banda Aceh hadir bak jamur di musim hujan seperti saat ini.

Kedai kopi bagi masyarakat Aceh bukan hanya sekedar untuk menikmati aroma khas dari kopi, apalagi bila kopi luwak dari dataran tinggi Gayo. Kedai kopi di mata orang-orang Aceh sudah menjadi suatu tempat yang punya nilai lebih dalam kehidupan sosial dan perkembangan pemikiran orang-orang Aceh. kedai kopi menjadi lahan untuk memperbincangkan persoalan sosial, ekonomi bahkan juga sebagai tempat untuk menghujat para pemerintah yang tidak becus mengurus rakyat. Bahkan bisa lebih dari itu pengaruh kedai kopi dalam kehidupan masyarakat Aceh.

Jika ingin membandingkan dengan orang-orang eropa yang suka minum bir dan tempatnya sudah pasti di Bar maka orang Aceh suka minum kopi yang biasa disebut ngopi dan sudah pasti tempatnya ya kedai kopi. Di kedai kopi juga menjadi tempat orang saling melepas kerinduan bila sudah lama tidak jumpa dengan mengajak bareng ngopi. Bahkan dalam persoalan politik kedai kopi juga punya tempat yang spesial sendirinya. 

Ada jargon yang sering terdengar bahwa diplomasi minum kopi sering terjadi di negeri ini. biasanya, bila persoalan sudah sampai di atas meja kedai kopi maka sebuah perkara akan mudah terselesaikan. Lagi lagi, kedai kopi punya kekuatan politik yang mumpuni dalam pergulatan politik kekuasaan. Dulunya, sewaktu negeri ini masih berkecamuk dengan peperangan, banyak petinggi dua pihak yang bertikai sangat akur ketika sama-sama di meja kedai kopi. Sungguh aneh kan kekuatan kedai kopi di negeri ini!!

Terlepas dari semua itu, sepatutnya kita bersyukur kedai kopi menjadi perekat hubungan sosial sesama. Tidak saling memandang rendah status masing dan bisa saling melebur dalam semua anggota masyarakat. Kedai kopi bila ingin di bawa ke arah positif maka hal positif pula yang kita dapatkan, begitu pula sebaliknya.....

Banda Aceh Juni 2015


Wednesday 24 June 2015

Sepotong Kisah Dari Eks Kota Petro Dolar, Lhokseumawe

Sepotong Kisah Dari Eks Kota Petro Dolar, Lhokseumawe
Tulisan lhokseumawe dengan latar cahaya lampu saat akan memasuki kota Lhokseumawe 

Dulu, kota yang dikenal dengan petrodollar terkenal kemana-kemana. Sumbangsih hasil perut kota ini mampu membangun nusantara ini. tidak diragukan lagi akan hal tersebut. kota penghasil gas alam terbesar pada era tahun 70an sampai tahun 80an.

Kota Lhokseumawe begitulah namanya. Kota yang terletak di lintasan jalan nasional Banda Aceh-Medan dulunya adalah ibukota kabupaten Aceh Utara. Seiring jalannya waktu, Aceh Utara dulunya yang terbentang luas dimulai dari Samalanga sampai Panton Labu pecah menjadi 3 wilayah administratif. Lhokseumawe berdiri jadi Kota Madya dan 2 daerah lainnya Aceh Utara yang beribukota di Lhoksukon dan Bireuen yang beribukota di Bireuen yang dikenal sebagai kota Juang.

Lhokseumawe dulu merupakan kota industri dengan beberapa perusahaan besar beroperasi di wilayahnya. Sebut saja PT PIM (PT Pupuk Iskandar Muda), PT AAF(Aceh Asean Fertilizer) dan PT KKA(PT Kertas Kraft Aceh). perusahaan perusahaan besar tersebut mampu berdiri karena dengan adanya pasokan gas untuk menghidupi mesin raksasanya dari ladang gas Aron. Selain itu, hasil gas itu di ekspor ke luar negeri yang kesemua rupiah itu masuk ke kantong negara.

Lalu, lhokseumawe sendiri dan secara keseluruhan Aceh apa yang bisa didapat dari hasil peruh bumi tanoh rencong ini? apakah rakyat dilingkaran peusahaan penyedot Gas itu sudah sejahtera? bagaimana nasib para masyarakat yang harus pindah dari tanahnya untuk dibangun perusahaan itu? Penulis rasa sudah tidak harus lagi membahas hal itu, namun penulis hanya ingin menyegarkan pikiran kita tentang apa yang terjadi di tanoh Aulia ini.

Masa itu, Kota Lhokseumawe begitu dikenal oleh orang banyak. Pekerja asing datang ke Lhokseumawe untuk mengeruk kekayaan alam di bawah perut Lhokseumawe. Tak heran, Lhokseumawe kala itu dilabeli dengan sebutan kota Petro Dollar. Geliat perekonomian di kota Lhokseumawe sangat menguntungkan para pelaku ekonomi. Namun pemerintah Lhokseumawe kala itu lupa daratan akan keberlangsungan pendapatan untuk daerah. Cukup terlena dengan hasil dari gas alam sampai lupa akan hal apa yang akan diandalkan ketika gas alam Aron habis.

Nyatanya, Oktober 2014 silam merupakan pengapalan terakhir LNG untuk diekspor ke Korea Selatan. Kini kilang PT Aron telah dioperasikan sebagai terminal penerima dan regasifikasi LNG. Lalu bagaimana dengan wajah kota Lhokseumawe kini?... 

Tuesday 16 June 2015

Meugang, Tradisi menyambut Ramadhan Masyarakat Aceh

Meugang, Tradisi menyambut Ramadhan Masyarakat Aceh
pedagang daging sedang berjualan di hari meugang

Meugang adalah tradisi yang sudah turun menurun di Aceh. Sehari sebelum memasuki bulan suci ramadhan masyarakat Aceh akan melakukan tradisi Meugang itu. Meugang juga merupakan ajang silaturrahmi antar sesama, apalagi masyarakat yang dirantau akan pulang ke gampong masing-masing untuk Meugang bersama keluarga dan juga menjalankan ibadah puasa di Gampong. 

Meugang adalah tradisi masak memasak beragam macam masakan daging seperti daging lembu, kambing dan lain-lain kemudian menyantapnya bersama-sama dengan anggota keluarga. pada hari meugang pasar hewan menjadi sangat ramai dikunjungi masyarakat untuk membeli daging lembu yang masih segar untuk dibawa pulang  kemudian dimasak oleh kau ibu di rumah. Biasanya yang membeli dipasar adalah kaum bapak dan kaum ibu bertugas memasaknya di rumah.

Prosesi membeli inilah yang menjadi klimaks dari puncak tradisi meugang tersebut. para kaum bapak seakan berlomba siapa yang duluan ke pasar daging untuk mendapatkan daging yang masih segar. Biasanya siap subuh pasar daging sudah ramai orang-orang datang untuk membeli atau bahkan untuk sekedar melihat-lihat alias untuk meramaikan Meugang.

Penjual daging pada saat sangat banyak biasanya. Malam hari sebelum meugang mereka sudah menyembelih hewan yang akan dijualnya esok hari waktu hari Meugang. Nah, satu hal lagi yang unik pada tradisi Meugang. Harga daging, khususnya daging lembu melonjat tinggi daripada hari biasanya. Hal yang demikian Cuma ada Aceh dan sangat peristiwa demikian di Daerah lain di Indonesia. Maka dapat dipastikan para penjual daging banyak yang untung waktu Meugang dengan naiknya harga daging tersebut.

Harga daging Aceh pas hari lebaran bisa tembus sampai Rp 150.000-160.000 per Kilogram. Uniknya lagi Cuma hari meugang saja dan pada esoknya harga daging sudah normal kembali seperti biasanya. Para pengamat ekonomi mengatakan itu karena permintaan pasar makanya harganya naik karena banyak pembelinya. 

Namun yang pasti walaupun dagingnya mahal, bagi masyarakat Aceh tradisi Meugang tetap harus berjalan seperti biasanya. biasanya ada dua Meugang dalam masyarakat Aceh yaitu Meugang Ubeut dan Meugang Rayeuk. Meugang Ubeut dilakukan 2 hari sebelum puasa sedangkan Meugang Rayeuk satu hari sebelum puasa. selain itu, Meugang dalam setahun diperingati 3 kali, yaitu pada saat mau puasa, saat akan lebaran idul fitri dan saat akan lebaran idul adha. 

Selamat menyambut bulan suci ramadhan dan selamat menyantap hidangan hari Meugang.[]







Copyright © 2014-2015 SuA Atjeh